Assalamualaikum, anggota KPN Kokesma yang berbahagia, kali ini penulis ingin berbagi informasi tentang mutu pelayanan kesehatan. Postingan ini penulis anggap sebagai prolog dari sebuah dokumen rencana peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang mesti kita susun bersama untuk menyikapi perubahan-perubahan lingkungan pelayanan, dan tentu juga bisa sebagai bahan pengetahuan bagi semua orang.
Secara umum, pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang peduli dan terpusat pada kebutuhan serta harapan pelanggan. Sementara itu, nilai-nilai pelanggan menjadi titik tolak penyediaan pelayanan kesehatan dan menjadi persyaratan yang harus dapat dipenuhi.
Akhir-akhir ini, kinerja pelayanan kesehatan menjadi sorotan masyarakat, baik dalam pelayanan dasar (di puskesmas dan jaringannya) maupun pelayanan rujukan (rumah sakit). Kalau kita lihat kebelakang, upaya perbaikan mutu dan kinerja pelayanan kesehatan di Indonesia telah mulai dilakukan sejak tahun 1986 dengan diterapkannnya gugus kendali mutu di rumah sakit dan puskesmas serta pada pelayanan kesehatan yang lainnya. Perbaikan ini dilanjutkan dengan dikenalkannya toal quality management di tahun 1994 dan performance management pada tahun 1996.
Untuk pelayanan kesehatan dasar di puskesmas, dikenalkan program jaminan mutu (quality assurance) pada tahun 1995 di provinsi Jawa Barat, jawa Timur dan lainnya melalui proyek kesehatan IV (Health project IV), di Jawa Tengah melalui proyek Community health and nutrition III, dan Provincial health project I di provinsi DIY. Ada tiga tahapan yang dilaksanakan yakni, analisis sistem, supervisi dan pembinaan, dan pendekatan tim. Empat standart pelayanan telah disusun melalui program jaminan mutu tersebut, yaitu satndar penanganan diare, standar pelayanan imunisasi, standar penangananinfeksi saluran nafas atas, dan standar pelayanan antenatal, dalam bentuk lembar periksa yang harus diikuti oleh petugas pelayanan kesehatan di puskesmas.
Upaya perbaikan mutu semakin berkembang pada tahun 1998 yang difasilitasi melalui proyek kesehatan V yang melanjutkan upaya perbaikan mutu yang telah dirintis sebelumnya dengan berbagai inovasi serta diperkenalkannya manajemen kinerja (performance management) yang tidak hanya menekankan pada perbaikan proses saja, tetapi juga dengan pengukuran indicator kinerja sebagai dasar untuk melakukan perbaikan proses yang berkesinambungan.
Kita mengenal program akreditasi rumah sakit, dimana pada awalnya tahun 1995 dilakukan untuk 5 jenis pelayanan, dan tahun 1997, program diperluas menjadi 12 pelayanan, dan tahun 2000 dikembangkan instrument 16 bidang pelayanan untuk menilai kedua puluh proses pelayanan di rumah sakit. Disamping akreditasi, penerapan sistem manajemen mutu mengikuti standar ISO 9001:2000 mulai dilakukan juga di puskesmas dan rumah sakit sejak tahun 2003 untuk menjawab tuntutan global. Terus bagaimana dengan kondisi mutu pelayanan di semua puskesmas kita?. Apakah sudah memenuhi standar atau masih perlu ditingkatkan mutunya...
Menurut Berwick (2002), untuk melakukan perbaikan mutu pelayanan kesehatan, perlu diperhatikan empat tingkat perubahan yaitu :
1. Pengalaman pasien dan masyarakat
2. Sistem mikro pelayanan
3. Sistem organisasi pelayanan kesehatan
4. Lingkungan pelayanan kesehatan
Di samping harus memiliki tujuan yang jelas dan komprehensif, pelayanan kesehatan harus berfokus pada pelanggan. Pengalaman pasien dan masyarakat yang menjadi pelanggan pelayanan kesehatan harus mendapat perhatian utamasehingga kebutuhan, harapan, dan nilai pelanggan dapat dipenuhi oleh organisasi pelayanan kesehatan.
Pengelolaan terhadap pengalaman pelanggan dapat terlaksana dengan baik jika dilakukan perubahan dan perbaikan pada sistem mikro pelayanan, sistem organisasi pelayanan kesehatan, dan lingkungannya. Sistem mikro merupakan unit kerja terdepan dalam organisasi yang memberikan pelayanan yang langsung dirasakan dan dialami oleh pasien dan masyarakat .
Pelayanan kesehatan pada sistem mikro diharapkan dilaksanakan menggunakan bukti terkini yang tersedia, focus pada pelanggan, berupa sistem pelayanan yang terkoordinasi dengan baik, terintegrasi dan efisien, serta sederhana dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat, seperti yang dijelaskan Berwick (2002), bahwa ada 10 aturan dasar dalam pelayanan pelanggan, yaitu :
1. Hubungan yang berkesinambungan dengan pelanggan
2. Pelayanan yang customized terhadap kebutuhan, nilai dan harapan pelanggan
3. Pelanggan sebagai sumber pengendali
4. Keterbukaan informasi pada pelanggan
5. Pengambilan keputusan berdasar bukti
6. Memberikan jaminan keamanan
7. Transparan
8. Kebutuhan pelanggan senantiasa diantisipasi
9. Efisien
10. Kerjasama antar petugas kesehatan merupakan prioritas.
Proses pelayanan pada sistem mikro sangat dipengaruhi oleh sistem organisasi pelayanan kesehatan, antara lain kepemimpinan dalam organisasi, sistem administrasi, dan manajemen. Demikian juga dengan sistem manajemen mutu yang ada dalam organisasi tersebut. Desain organisasi perlu disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan pada sistem mikro dan pelanggan yang harus dilayani.
Sedangkan lingkungan pelayanan kesehatan meliputi sistem pembiayaan kesehatan, peraturan perundangan yang berlaku, kebijakan pemerintah, peraturan dan kebijakan yang disusun oleh pemilik, kebijakan pembiayaan dan peraturan keuangan, sistem regulasi, serta sistem hukum dan sistem sosial. Seluruh sistem yang berlaku di masyarakat sangat berpengaruh terhadap sistem organisasi pelayanan kesehatan dan sistem mikro pelayanan.
Dengan diberlakukannya kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 1 Januari 2014 kemaren, maka terjadi perubahan besar dalam sistem pembiayaan kesehatan. Sistem pembiayaan yang dulunya dengan cara pembayaran langsung oleh pasien kepada pemberi pelayanan berubah menjadi sistem asuransi sosial, yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Puskesmas dan jaringannya sebagai pemberi pelayanan kesehatan dasar akan dikontrak oleh BPJS Kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar yang paripurna kepada peserta BPJS kesehatan. Selanjutnya puskesmas dan jaringannya akan mendapatkan pembayaran dari BPJS kesehatan dalam bentuk kapitasi, yaitu pembayaran sejumlah tertentu sesuai dengan jumlah peserta yang menjadi tanggungan yang dilakukan di awal sebelum pemberian pelayanan kepada peserta.
Dengan diterapkannnya sistem asuransi ini, maka akan terjadi prinsip saling mengawasi, terutama menyangkut mutu pelayanan yang diberikan masing-masing pihak. Jika satu pihak tidak dapat memberikan pelayanan yang bermutu, sudah tentu ada komplain dari pihak lain. Ilustrasinya kira-kira begini, peserta membayar premi kepada BPJS tentunya menginginkan pelayanan kesehatan yang mereka terima memuaskan, sementara puskesmas dan jaringannya yang dibayar berdasarkan kapitasi akan diawasi secara ketat oleh BPJS, apakah sarana kesehatan yang dikontrak tersebut benar-benar sudah memberikan pelayanan yang sesuai standard dan bermutu, sebaliknya puskesmas jika ingin tetap bisa menjadi mitra BPJS, tentunya harus bisa memberikan pelayanan yang sesuai standar dan memuaskan peserta BPJS, karena kalau itu tidak dapat dilakukan oleh puskesmas, maka sudah pasti akan terjadi pemutusan kontrak.
Dengan adanya JKN ini , puskesmas dan jaringannya benar-benar dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu, itu kalau puskesmas mau tetap survive dalam perannya sebagai pemberi pelayanan kesehatan perorangan (UKP) dalam bentuk kuratif, dan pemberi pelayanan kesehatan masyarakat (UKM) dalam bentuk promotif dan preventif. Memang pada tahap-tahap awal ini tuntutan itu belum kuat, karena kepesertaan JKN juga belum mencakup seluruh penduduk Indonesia, namun proses kearah itu sudah pasti.
Tentunya, sudah saatnya kita merubah mindset, mentang-mentang puskesmas adalah sarana kesehatan milik pemerintah, maka serta merta kita akan jadi mitra BPJS Kesehatan selamanya?? Saya yakin tidak...!!! BPJS Kesehatan adalah transformasi dari PT ASKES, yang memiliki pengalaman panjang dalam mengelola asuransi kesehatan di Indonesia. Saat PT Askes masih beroperasi, sudah banyak puskesmas yang ditinggalkan PT Askes, dalam arti tidak lagi ditunjuk sebagai pemberi pelayanan kesehatan untuk anggota PT Askes yang ada, namun dipindahkan secara sepihak kepada dokter-dokter keluarga yang mereka tunjuk.
Pemindahan ini, menurut PT Askes karena puskesmas tidak dapat memberikan pelayanan yang sesuai standard dan bermutu kepada peserta askes. Hasil penelitian PT Askes menunjukkan tingginya angka rujukan puskesmas ke rumah sakit, dari kasus yang dirujuk terlihat bahwa sebenarnya kasus-kasus tersebut dapat ditangani di pelayanan primer (puskesmas), akibatnya PT Askes dirugikan karena harus membayar dua kali untuk satu kasus yang sama, maksudnya begini, puskesmas sudah dibayar dengan sistem kapitasi di awal sebelum pelayanan diberikan, sementara rumah sakit dibayar dengan sistem klaim sesudah pelayanan diberikan, namun karena puskesmas merujuknya ke rumah sakit maka terpaksa PT Askes membayar kembali klaim yang diajukan oleh rumah sakit. Selain tingginya angka rujukan, hal lain yang membuat puskesmas ditinggalkan PT Askes adalah karena (masih menurut PT Askes) banyaknya keluhan dari peserta Askes bahwa pelayanan di puskesmas tidak dilayani oleh dokter, namun lebih banyak ditangani oleh perawat dan bidan.
Penelitian PT Askes tersebut memang sifatnya nasional, namun faktanya beberapa dari puskesmas kita sudah merasakan akibat tindakan yang sudah diambil PT Askes waktu itu, nah sekarang mumpung semua puskesmas kita masih jadi mitra di awal pelaksanaan BPJS ini, mari kita berkolaborasi menyikapi perubahan lingkungan pelayanan kesehatan ini.
Semua fakta-fakta tentang keharusan peningkatan mutu pelayanan di atas terangkum jelas dalam rincian berikut, dan untuk lebih jelasnya silakan bapak/ibu download di sini
Dan ada juga wacana Kemenkes akan melakukan pembatasan rasio peserta JKN, untuk lebih lengkapnya klik di sini
Secara umum, pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang peduli dan terpusat pada kebutuhan serta harapan pelanggan. Sementara itu, nilai-nilai pelanggan menjadi titik tolak penyediaan pelayanan kesehatan dan menjadi persyaratan yang harus dapat dipenuhi.
Akhir-akhir ini, kinerja pelayanan kesehatan menjadi sorotan masyarakat, baik dalam pelayanan dasar (di puskesmas dan jaringannya) maupun pelayanan rujukan (rumah sakit). Kalau kita lihat kebelakang, upaya perbaikan mutu dan kinerja pelayanan kesehatan di Indonesia telah mulai dilakukan sejak tahun 1986 dengan diterapkannnya gugus kendali mutu di rumah sakit dan puskesmas serta pada pelayanan kesehatan yang lainnya. Perbaikan ini dilanjutkan dengan dikenalkannya toal quality management di tahun 1994 dan performance management pada tahun 1996.
Untuk pelayanan kesehatan dasar di puskesmas, dikenalkan program jaminan mutu (quality assurance) pada tahun 1995 di provinsi Jawa Barat, jawa Timur dan lainnya melalui proyek kesehatan IV (Health project IV), di Jawa Tengah melalui proyek Community health and nutrition III, dan Provincial health project I di provinsi DIY. Ada tiga tahapan yang dilaksanakan yakni, analisis sistem, supervisi dan pembinaan, dan pendekatan tim. Empat standart pelayanan telah disusun melalui program jaminan mutu tersebut, yaitu satndar penanganan diare, standar pelayanan imunisasi, standar penangananinfeksi saluran nafas atas, dan standar pelayanan antenatal, dalam bentuk lembar periksa yang harus diikuti oleh petugas pelayanan kesehatan di puskesmas.
Upaya perbaikan mutu semakin berkembang pada tahun 1998 yang difasilitasi melalui proyek kesehatan V yang melanjutkan upaya perbaikan mutu yang telah dirintis sebelumnya dengan berbagai inovasi serta diperkenalkannya manajemen kinerja (performance management) yang tidak hanya menekankan pada perbaikan proses saja, tetapi juga dengan pengukuran indicator kinerja sebagai dasar untuk melakukan perbaikan proses yang berkesinambungan.
Kita mengenal program akreditasi rumah sakit, dimana pada awalnya tahun 1995 dilakukan untuk 5 jenis pelayanan, dan tahun 1997, program diperluas menjadi 12 pelayanan, dan tahun 2000 dikembangkan instrument 16 bidang pelayanan untuk menilai kedua puluh proses pelayanan di rumah sakit. Disamping akreditasi, penerapan sistem manajemen mutu mengikuti standar ISO 9001:2000 mulai dilakukan juga di puskesmas dan rumah sakit sejak tahun 2003 untuk menjawab tuntutan global. Terus bagaimana dengan kondisi mutu pelayanan di semua puskesmas kita?. Apakah sudah memenuhi standar atau masih perlu ditingkatkan mutunya...
Menurut Berwick (2002), untuk melakukan perbaikan mutu pelayanan kesehatan, perlu diperhatikan empat tingkat perubahan yaitu :
1. Pengalaman pasien dan masyarakat
2. Sistem mikro pelayanan
3. Sistem organisasi pelayanan kesehatan
4. Lingkungan pelayanan kesehatan
Di samping harus memiliki tujuan yang jelas dan komprehensif, pelayanan kesehatan harus berfokus pada pelanggan. Pengalaman pasien dan masyarakat yang menjadi pelanggan pelayanan kesehatan harus mendapat perhatian utamasehingga kebutuhan, harapan, dan nilai pelanggan dapat dipenuhi oleh organisasi pelayanan kesehatan.
Pengelolaan terhadap pengalaman pelanggan dapat terlaksana dengan baik jika dilakukan perubahan dan perbaikan pada sistem mikro pelayanan, sistem organisasi pelayanan kesehatan, dan lingkungannya. Sistem mikro merupakan unit kerja terdepan dalam organisasi yang memberikan pelayanan yang langsung dirasakan dan dialami oleh pasien dan masyarakat .
Pelayanan kesehatan pada sistem mikro diharapkan dilaksanakan menggunakan bukti terkini yang tersedia, focus pada pelanggan, berupa sistem pelayanan yang terkoordinasi dengan baik, terintegrasi dan efisien, serta sederhana dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat, seperti yang dijelaskan Berwick (2002), bahwa ada 10 aturan dasar dalam pelayanan pelanggan, yaitu :
1. Hubungan yang berkesinambungan dengan pelanggan
2. Pelayanan yang customized terhadap kebutuhan, nilai dan harapan pelanggan
3. Pelanggan sebagai sumber pengendali
4. Keterbukaan informasi pada pelanggan
5. Pengambilan keputusan berdasar bukti
6. Memberikan jaminan keamanan
7. Transparan
8. Kebutuhan pelanggan senantiasa diantisipasi
9. Efisien
10. Kerjasama antar petugas kesehatan merupakan prioritas.
Proses pelayanan pada sistem mikro sangat dipengaruhi oleh sistem organisasi pelayanan kesehatan, antara lain kepemimpinan dalam organisasi, sistem administrasi, dan manajemen. Demikian juga dengan sistem manajemen mutu yang ada dalam organisasi tersebut. Desain organisasi perlu disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan pada sistem mikro dan pelanggan yang harus dilayani.
Sedangkan lingkungan pelayanan kesehatan meliputi sistem pembiayaan kesehatan, peraturan perundangan yang berlaku, kebijakan pemerintah, peraturan dan kebijakan yang disusun oleh pemilik, kebijakan pembiayaan dan peraturan keuangan, sistem regulasi, serta sistem hukum dan sistem sosial. Seluruh sistem yang berlaku di masyarakat sangat berpengaruh terhadap sistem organisasi pelayanan kesehatan dan sistem mikro pelayanan.
Dengan diberlakukannya kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 1 Januari 2014 kemaren, maka terjadi perubahan besar dalam sistem pembiayaan kesehatan. Sistem pembiayaan yang dulunya dengan cara pembayaran langsung oleh pasien kepada pemberi pelayanan berubah menjadi sistem asuransi sosial, yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Puskesmas dan jaringannya sebagai pemberi pelayanan kesehatan dasar akan dikontrak oleh BPJS Kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar yang paripurna kepada peserta BPJS kesehatan. Selanjutnya puskesmas dan jaringannya akan mendapatkan pembayaran dari BPJS kesehatan dalam bentuk kapitasi, yaitu pembayaran sejumlah tertentu sesuai dengan jumlah peserta yang menjadi tanggungan yang dilakukan di awal sebelum pemberian pelayanan kepada peserta.
Dengan diterapkannnya sistem asuransi ini, maka akan terjadi prinsip saling mengawasi, terutama menyangkut mutu pelayanan yang diberikan masing-masing pihak. Jika satu pihak tidak dapat memberikan pelayanan yang bermutu, sudah tentu ada komplain dari pihak lain. Ilustrasinya kira-kira begini, peserta membayar premi kepada BPJS tentunya menginginkan pelayanan kesehatan yang mereka terima memuaskan, sementara puskesmas dan jaringannya yang dibayar berdasarkan kapitasi akan diawasi secara ketat oleh BPJS, apakah sarana kesehatan yang dikontrak tersebut benar-benar sudah memberikan pelayanan yang sesuai standard dan bermutu, sebaliknya puskesmas jika ingin tetap bisa menjadi mitra BPJS, tentunya harus bisa memberikan pelayanan yang sesuai standar dan memuaskan peserta BPJS, karena kalau itu tidak dapat dilakukan oleh puskesmas, maka sudah pasti akan terjadi pemutusan kontrak.
Dengan adanya JKN ini , puskesmas dan jaringannya benar-benar dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu, itu kalau puskesmas mau tetap survive dalam perannya sebagai pemberi pelayanan kesehatan perorangan (UKP) dalam bentuk kuratif, dan pemberi pelayanan kesehatan masyarakat (UKM) dalam bentuk promotif dan preventif. Memang pada tahap-tahap awal ini tuntutan itu belum kuat, karena kepesertaan JKN juga belum mencakup seluruh penduduk Indonesia, namun proses kearah itu sudah pasti.
Tentunya, sudah saatnya kita merubah mindset, mentang-mentang puskesmas adalah sarana kesehatan milik pemerintah, maka serta merta kita akan jadi mitra BPJS Kesehatan selamanya?? Saya yakin tidak...!!! BPJS Kesehatan adalah transformasi dari PT ASKES, yang memiliki pengalaman panjang dalam mengelola asuransi kesehatan di Indonesia. Saat PT Askes masih beroperasi, sudah banyak puskesmas yang ditinggalkan PT Askes, dalam arti tidak lagi ditunjuk sebagai pemberi pelayanan kesehatan untuk anggota PT Askes yang ada, namun dipindahkan secara sepihak kepada dokter-dokter keluarga yang mereka tunjuk.
Pemindahan ini, menurut PT Askes karena puskesmas tidak dapat memberikan pelayanan yang sesuai standard dan bermutu kepada peserta askes. Hasil penelitian PT Askes menunjukkan tingginya angka rujukan puskesmas ke rumah sakit, dari kasus yang dirujuk terlihat bahwa sebenarnya kasus-kasus tersebut dapat ditangani di pelayanan primer (puskesmas), akibatnya PT Askes dirugikan karena harus membayar dua kali untuk satu kasus yang sama, maksudnya begini, puskesmas sudah dibayar dengan sistem kapitasi di awal sebelum pelayanan diberikan, sementara rumah sakit dibayar dengan sistem klaim sesudah pelayanan diberikan, namun karena puskesmas merujuknya ke rumah sakit maka terpaksa PT Askes membayar kembali klaim yang diajukan oleh rumah sakit. Selain tingginya angka rujukan, hal lain yang membuat puskesmas ditinggalkan PT Askes adalah karena (masih menurut PT Askes) banyaknya keluhan dari peserta Askes bahwa pelayanan di puskesmas tidak dilayani oleh dokter, namun lebih banyak ditangani oleh perawat dan bidan.
Penelitian PT Askes tersebut memang sifatnya nasional, namun faktanya beberapa dari puskesmas kita sudah merasakan akibat tindakan yang sudah diambil PT Askes waktu itu, nah sekarang mumpung semua puskesmas kita masih jadi mitra di awal pelaksanaan BPJS ini, mari kita berkolaborasi menyikapi perubahan lingkungan pelayanan kesehatan ini.
Semua fakta-fakta tentang keharusan peningkatan mutu pelayanan di atas terangkum jelas dalam rincian berikut, dan untuk lebih jelasnya silakan bapak/ibu download di sini
Dan ada juga wacana Kemenkes akan melakukan pembatasan rasio peserta JKN, untuk lebih lengkapnya klik di sini