Home » » SINERGI KEBIJAKAN UPAYA PENGHEMATAN ANGGARAN BELANJA JAMINAN KESEHATAN DI PERANCIS

SINERGI KEBIJAKAN UPAYA PENGHEMATAN ANGGARAN BELANJA JAMINAN KESEHATAN DI PERANCIS

Written By admin on Rabu, 19 Maret 2014 | 22.27

Menjelang diberlakukannya Jaminan Kesehatan Semesta 2014, Indonesia menghadapi berbagai tantangan terkait kesiapannya. Walaupun prioritas pemerintah saat ini adalah pada perluasan cakupan/ kepesertaan, berbagai isu terkait selayaknya tetap menjadi perhatian kita. Isu gseperti 1) seberapa dalam manfaat pelayanan kesehatan yang akan dijamin, 2) seberapa besar proporsi urun biaya yang masih harus dikeluarkan oleh peserta jaminan kesehatan ketika mendapatkan manfaat, 3) bagaimana kesiapan kuantitas dan kualitas sistem pelayanan kesehatan, fasilitas dan SDM kesehatan serta pemerataan distribusinya di berbagai daerah, 4) bagaimana kebijakan dan regulasi diperkuat untuk mendukung sistem jaminan kesehatan semesta, 5) bagaimana evaluasi dan monitoring dilakukan, 6) bagaimana mengajak sektor swasta untuk berperan serta, dan banyak hal lain masih tetap perlu dikaji dan dicermati.

Bahkan di negara lain dimana sistem jaminan kesehatan semesta telah dijalankan, isu-isu seperti di atas tetap menjadi perhatian dan terus menerus diawasi. Pada beberapa editorial yang lalu telah dibahas bagaimana sistem jaminan kesehatan semesta dijalankan di Perancis. Menjelang akhir tahun, pemerintah mengevaluasi berbagai dimensi pelaksanaan jaminan kesehatan semestanya misalnya kualitas pelayanan, distribusi SDM, besarnya anggaran, dll serta proposal yang diajukan untuk upaya perbaikannya. 

Bulan September lalu, pengelola jaminan kesehatan semesta di Perancis mengajukan laporan tahunan termasuk proposal upaya penghematan senilai 2,48 milyar euro untuk menekan pertumbuhan anggaran belanja jaminan kesehatan dikisaran 2,4% (pertumbuhan anggaran pada tahun 2012 adalah 2,5% sementara pada tahun 2013 adalah 2,7%). Situasi perekonomian Eropa telah menekan berbagai negara termasuk Perancis untuk melakukan penghematan anggaran belanja, sehingga wacana penghematan anggaran belanja kesehatan merupakan isu yang cukup disorot. 

Anggaran belanja kesehatan di Perancis adalah sekitar 12% dari GDP, dan beberapa tahun terakhir mengalami defisit lebih besar dari yang diproyeksikan. Pada awal tahun 2013, misalnya, defisit diperkirakan sebesar 11,4 juta euro, tetapi laporan tahunan 2013 menyatakan bahwa riil defisitnya adalah 14,7 juta euro. Hal ini juga disebabkan oleh tekanan situasi ekonomi yang membuat sekelompok peserta jaminan yang tadinya termasuk di dalam peserta dengan urun biaya berubah menjadi peserta tanpa urun biaya (ditanggung penuh pemerintah) karena kehilangan pekerjaan. Diperkirakan jumlah peserta tanpa urun biaya ini akan lebih besar pada tahun-tahun mendatang selama krisis ekonomi di Eropa belum berakhir. Oleh karena itu, pemerintah sangat berkepentingan untuk memastikan kecukupan anggaran untuk menyediakan pelayanan bagi mereka. 

Proposal penghematan yang diajukan mencakup kebijakan harga untuk berbagai obat (diharapkan akan menghasilkan penghematan senilai 750juta euro), serta kebijakan yang membatasi dokter dalam meresepkan obat mahal/branded dan menggantinya dengan obat generik (diharapkan akan menghasilkan penghematan senilai 600juta euro), dan kebijakan yang membatasi transportasi untuk rujukan yang tidak perlu, dan kebijakan yang mendorong perluasan one-day surgery untuk menghindari biaya rawat inap. Salah satu target dari kebijakan one-day surgery ini adalah operasi katarak yang merupakan salah satu operasi yang paling sering dilakukan di Perancis (sekitar 700,000 di tahun 2012) yang sebelumnya tidak dilakukan sebagai one-day surgery. 

Penghematan juga akan dilakukan dalam bentuk strategic purchasing untuk peralatan kesehatan misalnya insulin pumps, prostheses, respirators, dll. Diharapkan dengan kebijakan strategic purchasing ini penghematan yang dihasilkan adalah senilai 220 juta euro (untuk level rumah sakit) dan 150juta euro (untuk level klinik/fasilitas kesehatan primer). Yang menarik adalah bagaimana proposal ini didukung oleh berbagai kebijakan yang mengikutinya. Dokter, misalnya, diharuskan untuk menulis setidaknya 25% bagian dari resepnya berupa formula kimia dari molekul aktif obat, dan bukan brand name-nya. Hal ini dilakukan untuk mendongkrak penjualan obat generic di Perancis yang saat ini masih berkisar 14% (dalam nilai uang) atau 26% (dalam kuantitas) pada tahun 2012 lalu. Sebagai perbandingan, share penjualan obat generik di Jerman atau Inggris adalah sekitar 50%.

Kebijakan lain yang juga terkait adalah kebijakan redistribusi ketersediaan tenaga medis, seperti yang telah dibahas pula pada editorial lalu. Hasilnya ternyata cukup menggembirakan. Secara keseluruhan, jumlah dokter bertambah 0.9 % namun secara riil jumlah dokter di beberapa tempat yang telah padat berkurang (misalnya di region Center berkurang 2.3 %, dan di region Ile- de- France berkurang 4.2%) dan sebaliknya meningkat di daerah yang sebelumnya kekurangan (misalnya di region Paysde- Loire meningkat 4.7% dan di region Rhône – Alpes meningkat 4.5%). Ketersediaan tenaga medis di daerah-daerah yang kekurangan diharapkan dapat mengurangi unnecessary referral antar-region dan mengurangi biaya transpor rujukan. 

Selain kebijakan yang mendukung, proses evaluasi yang dilakukan terhadap fasilitas kesehatan (klinik dan rumah sakit) di Perancis baik fasilitas pemerintah maupun swasta juga mencerminkan dukungan terhadap upaya penghematan anggaran kesehatan seperti yang diusulkan. Dari beragam komponen penilaian dan evaluasi tersebut misalnya juga dimasukkan variabel rendahnya LOS di rumah sakit dan seberapa banyak ambulatory care dilakukan. Hasil dan ranking penilaian untuk seluruh rumah sakit ini, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta, diumumkan setiap tahun sehingga masyarakat dapat secara terbuka melihat ranking dari rumah sakit di daerahnya. Dengan demikian rumah sakit dan klinik dipacu untuk mengembangkan layanan one-day surgery yang lebih cost-effective dan mengurangi LOS.

Dari cerita singkat di atas dapat ditarik pelajaran bahwa pemerintah Indonesia pun perlu melihat sistem kesehatannya secara utuh dan mencari sinergi antar kebijakan agar saling mendukung. Hal ini khususnya menjadi semakin penting di era jaminan kesehatan semesta. Apabila sinergi antar kebijakan ini belum terjadi maka perlu dicari solusi atau alternatif kebijakannya. Apabila telah ada kebijakan yang digulirkan, maka perlu pula dikaji sejauh mana efektifitas pelaksanaannya di lapangan. Di sinilah letak pentingnya kajian kebijakan dan evaluasi kebijakan dalam memainkan peran sebagai ‘feeder’ terhadap komunitas kebijakan khususnya pengambil kebijakan. Selaras dengan itu, berbagai artikel dalam JKKI kali ini akan berupaya menyoroti berbagai implementasi kebijakan dan memberikan rekomendasi perbaikan. Selamat membaca.

*Shita Listya Dewi
JURNAL KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA Vol. 02 No. 04 Desember2013

Baca juga : JUAL PRODUK
Share this article :
 
Web Terkait : Kementerian Kop dan UKM | Kementerian Kesehatan | Pemkab Muara Enim
Copyright © 2018. KPN KOKESMA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Yusrizal
Proudly powered by Blogger